Suatu
hari di suatu negara entah berantah sedang mengadakan masa kampanye.
Termasuk daerah kota didalamnya, yaitu kota entah apalah namanya pula
sedang mengadakan pesta demokrasi.
Caleg
: Ayo semua, saudara-saudaraku ayo kumpul
Caleg :
Dukung saya, Papa Zola nomor urut satu setengah! Agar menjadi anggota DPR,
insyaallah saya akan mensejahterahkan tempat ini
Pedagang : Yakin pak!!
Caleg :
iya, kalau bisa saya akan menjadikan tempat ini pusat jual beli dan wisata. Tapi
ingat jangan pilih Adu du.
Pedagang : Kenapa pak?
Caleg :
Karena dia musuh Boboiboy!!
Pedagang : Oke pak kita dukung
Bapak! (meninggalkan si caleg) Datar banget ekspresinya
Hari – sampai hari telah berlalu berganti minggu
dan sampailah pada pemilu. Akhirnya si caleg tadi berhasil maju menjadi anggota
legislatif. Wargapun semua pada gembira karena tidak lama lagi tempatnya akan
menjadi lebih sejahtera, namun bagaikan peribahasa.
Bukannya malah untung malah buntung. Bukannya
malah sejahtera malah sengsara. Itulah yang mereka rasakan sekarang.
------------------------------------------------------------------------
Disini bagi yang punya anggota lebih dari 4
orang bisa menambahkan percakapan polisi dengan pedagang. Istilahnya Polisi
lagi operasi razia PKL
Berikut naskahnya
Polisi :
Daganganmu saya sita!!
Pedagang : Loh kenapa, Pak!
Polisi :
Pedagang “kaki” lima dilarang dagang disini!
Pedagang : Pak, siap-siap
tercengang ya..
Polisi :
Apanya?
Pedagang : Kaki saya cuman
dua!
Polisi :
Masyaallah, saya tercengang! Tapi pedagang seperti Anda mengganggu lalu lintas
di kota besar
Pedagang : Tapi saya
dagangannya di Jakarta, kayaknya kota Surabaya, Jogja, Medan dan Balikpapan gak
terganggu deh
Polisi :
Ini tong, gerobaknya. Ambil aja, jangan lupa tes kejiwaan ya.
----------------------------------------------------------------------
Setelah itu pedagang pergi ke latar dua yaitu
warteg.
Pedagang : Kutu kupret, pret,
pret!
Jarjit :
Ada apa?
Pedagang : Itu, janjinya mau
mensejahterahkan. Malah gusur, salah gusurnya kayak gitu lagi. Wobrok, wobrok,
wobrok
Jarjit : Ya
namanya juga gusur. Kalau pelan-pelan ya jasa tukang pos. Memang gak ada surat
peringatan?
Pedagang : Ya adalah
Jarjit :
lah itu
Pedagang : Tapi kan ya namanya
peringatan, kayak peringatan 17 Agustus. Kita pada kumpul ramai-ramai terus
kita rayain deh.
Jarjit :
Bodohnya dah kereng nih penduduk disini. Masa surat penggusuran dirayain kayak
tujuh belasan
Aktivis :
Merdeka! Merdeka! Merdeka!
Jarjit :
Kamu ini datang tiba-tiba, Jantung mau copot seketika. Gak bisa dikecilin
suaranya.
Aktivis :
Ya namanya aktivis ya emosi
Pedagang : Ya tapi jangan
berisik juga
Aktivis :
Ya meskipun berisikkan yang penting berisi
Pedagang : Isi apanya...
Jarjit : Ya
isinya berisik itu tadi
Aktivis :
Bener katanya bung pedagang, walaupun tempat kita kumuh, kotor, sehingga harus
digusur tetapi kita sebagai rakyat bawah tidak terima dengan apa yang telah
dilakukan orang atas. Kita malah ditindas.
Coba deh, sebenarnya kita lebih berwibawa
dari orang atas sana.
Jarjit :
Loh kok bisa?
Aktivis :
Bapak lebih milih mana, pakai bawahan tapi gak pakai atasan. Apa pakai atasan
tapi gak pakai bawahan?
Reporter : Assalamualaikum
Serempak : ( Menyela)
Walaikumsalam
Reporter : Warohmatullahhi
Wabarokatuh. Belum selesai keles
Reporter : Jumpa lagi dengan
saya, Jeremy Tetanus di Lipatan 6. Singkat, tajam, setajam golok!
Berita pertama membahas tentang cabe-cabean.
Tanaman cabe keriting sekarang sudah semakin langka. Setelah dilakukan
penyelidikan, Akhirnya ditemukan penyebabnya yaitu para cabe telah creambath
sehingga menjadi cabai lurus.
Berita kedua, Banyak terjadi kecelakaan membuat
polisi membuat peraturan baru. Dimulai dari menyalakan lampu besar pada sepeda
motor, hingga menyalakan lampu senter bagi pengendara sepeda. Tetapi bukannya
malah berkurang malah tingkat kecelakaan menjadi tinggi.
Akhirnya ditemukan penyebabnya. Ternyata adalah
debu, sehingga pengendara kelilipan, mengantisipasi hal itu. Polisi menghimbau
untuk tidak menyetel “lagu butiran debu”
Reporter : Berikutnya seorang
narapidana Koruptor, Gayung Timbunan. Telah diketahui jalan-jalan di Bali. Hal
ini dibuktikan ketika dia ketahuan terjepret kamera saat sedang menonton
pertandingan voli.
Reporter : Sekian dari saya,
tetap saksikan kami setelah jeda berikut ini.
(Di sini Reporter bisa ganti baju, menjadi
koruptor)
Pedagang : Wah, gila tuh
orang!
Aktivis :
(teriak) Setuju!
(Disini Koruptor datang, duduk. Mengaduk minuman
dengan uang. )
Aktivis :
Wah, maestronya dateng bang
Pedagang : Ya tuh, bang, masuk
tipi
Jarjit :
Bang, emang enak jadi koruptor?
Koruptor : Enak lah.
Pedagang : Tapi kan kayak
maling gitu
Koruptor : Loh, heh. Hehehehe,
Gurarara, saya gak setuju, koruptor sama maling beda.
Aktivis :
Apanya yang beda!
Koruptor : Kalau maling
ketahuan, pasti dihajar. Tapi koruptor mah, malah masuk tipi
Koruptor : Kedua, koruptor gak
pernah kemalingan
Aktivis :
Loh? Kenapa?
Koruptor : Soalnya maling gak mau
hartanya haram 2 kali. Entar direka ulang hukumannya. Coba aja abang pikirin,
maling mencuri uang yang dicuri seorang pencuri dari seorang pencuri. oh dia
mencuri berapa kali tuh. Pantas hukumannya lebih berat dari koruptor. Kalau
koruptor, yang penting dengan money hukuman bisa dibeli.
Aktivis :
Iya juga ya pak.
Koruptor : Wah, pentolan jam
saya udah jam 8. Udah dulu yang bang, ane mau ke Argentina
Aktivis :
Oke deh, semoga sukses jadi koruptor.
Jarjit :
Waduh negara kita ini pemerintahannya udah gila semua.
Aktivis :
Setuju bang, uanglah yang di Tuhankan. Janji dipalsukan.
Setelah itu tiap anggota kelompok berjejer.
Membaca kesimpulan ini.
Bla...bla...bla Bla...bla...bla Bla...bla...bla
(susun sendiri gaN ;0
Kesimpulannya, negara Indonesia ini sudahlah
sangat lucu. Sebagaimana sebuah puisi dari Ismail Marzuki yang
berjudul ( Ane lupa judulnya, gan. Cari aja di Internet)
Kita
hidup di sebuah zaman ketika uang dipuja-puja sebagai Tuhan
Dengan uang hubungan antar manusia diukur dan ditentukan
Ketika mobil, tanah, deposito, relasi dan kepangkatan
Ketika politik, ideologi, kekuasaan disembah sebagai Tuhan
Ketika dominasi materi menggantikan Tuhan
Sehingga di negeri ini tak jelas lagi batas antara halal dan haram
Seperti membedakan warna benang putih dan benang hitam
Di hutan kelam
Jam satu malam
Ketika 17 dari 33 Gubernur jadi tersangka
52 persen banyaknya
Ketika 147 dari 473 Bupati dan Walikota jadi tersangka
36 persen jumlahnya
Ketika 27 dari 50 anggota Komisi Anggaran DPR ditahan
62 persen jumlahnya
Ketika sogok menyogok dari barat ke timur menjadi satu
Pelaku bisnis menyuap ke kanan dan ke kiri
Mengantar komisi kesanadan ke mari
Eksekutif, legislatif, yudikatif dan bisnis banyak menjadi garong berdasi
Walau masih ada yang jujur, tapi jumlahnya sedikit sekali
Ketika hakim, jaksa, polisi dan pengacara sedikit yang bisa dipercaya
Ketika keputusan pengadilan blak-blakan diperjual-belikan
Begitu banyak hakim, ha-a-ka-i-em, bila dipanjangkan,
Hubungi – aku – kalau – ingin – menang *)
Begitu banyak jaksa, je-a-ka-es-a, bila dipanjangkan,
Jajaki – aku – kalau – sesuai – anggarannya
Begitu banyak polisi, pe-o-el-i-es-i, bila dipanjangkan,
Percayalah – obyekan – licin – ini – sukses – implementasinya
Inilah dia zaman, betapa susah kita berjumpa kejujuran.
Teman-temanku
Kita hidup di zaman ketika perilaku bangsa mulai berubah
Sedikit-sedikit tersinggung, teracung kepalan dan marah-marah
Lalu merusak, membakar dan menumpahkan darah
Menggoyang-goyang pagar besi hingga rebah
Berteriak dengan kata-kata sumpah serapah
Sungguh sirna citra bangsa yang ramah tamah.
Oke teman-teman apa yang pasti kita rasakan
sekarang merasa sangat malu di dalam hati
Dan tak sadar berdosa
Karena kita ikut mewariskan keruwetan dan kebrantakan ini
Mari Bersihkanlah yang kotor-kotor
Selamatkan anak-anak dan cucu-cucu kita kelak
Bekerjalah dengan gebrakan yang cepat dan tegas
Sebagai bangsa kita bekerja, bekerja, bekerja
Sebagai bangsa kita berdoa, berdoa, berdoa.